Kemelut Politik Di Kerajaan Bima Abad XVII

Abad ke XVII merupakan momentum penting dalam perkembangan sejarah Bima. Pada masa itu terjadi peristiwa yang cukup dramatis mempengaruhi seluruh sendi kehidupan kenegaraan, politik, budaya dan agama di kerajaan Bima. Inilah masa transisi yang luar biasa dan membawa berbagai dampak yang berurujung lahirnya kesultanan Bima. Berawal dari ambisi dari Salisi  bergelar Mantau Asi Peka yang ingin merebut tahta kerajaan dari pewaris yang sah.  Berbagai intrik politik dijalankan dengan melakukan serangkaian pembunuhan terhadap Raja dan Putera Mahkota.

Pembunuhan politik itu dilakukan terhadap keturunan Raja Mantau Asi Sawo yaitu Sarise, Sangaji Samara dan putera mahkota yang dibakar hidup-hidup di padang rumput Wera atau yang dikenal dalam sejarah Bima dengan Ruma Ma Mbora Di Mpori Wera. Peristiwa itu direkam dalam Kitab BO sebagai sumber sejarah Bima sebagai berikut:

Setelah itu berawal mulanya, maka berkatalah orang dalam negeri itu mau mengangkat tuan kita Ma Mbora Di Mpori Wera. Maka didengar oleh tuan kita Mantau Asi Peka, maka disuruhnya Bumi Luma Rasanae untuk membuat perburuan di Mpori Wera itu. Setelah datang di Mopri Wera, maka disruhunya sekalian orang banyak membakar rumput itu, maka hilanglah Tuan kita (Jena Teke) ketika itu.” (Ibid, tahun 1070 H.)

Sasaran selanjutnya dari aksi pembunuhan poltik Salisi adalah Putera Mahkota La Ka’i yang baru berusia 9 tahun. Mendengar bocoran informasi itu, Panglima Perang Kerajaan Bima yang setia kepada keturunan Mantau Asi Sawo yang bernama Rato Waro Bewi beserta beberapa pejabat kerjaan terpaksa mengamankan La Ka’i dan dibawa ke Desa Teke. Di tempat pengasingan inilah La Ka’i terus dibina dan dilatih fisiknya terutama dalam kaitannya dengan taktik perang. Berawal dari sinilah, maka setiap putera mahkota kerajaan Bima dijuluki dengan Jena Teke. Hingga beberapa tahun lamanya, La Ka’i bersama sepupunya putera Mahkota Kerajaan Dompu yang bernama Manuru Bata dibina di desa Teke ini. Sebuah desa yang terletak di timur kecamatan Palibelo sekarang.

Salisi semakin berang, dia mencoba untuk terus menangkap La Ka’i dengan meminta bantuan kepada Belanda. Perjanjian lisan antara Salisi dengan Belanda terjadi di Ncake (Sekarang Cenggu  Bima) pada tahun 1605. Perwakilan Belanda yang  hadir di Cenggu saat itu bernama Stephen Van Hagen.  Karena Teke dalam incaran Salisi, Rato Waro Bewi membawa La Ka’i ke puncak Gunung Kalodu tepatnya di dusun Kamina desa Kalodu sekarang. Kalodu terletak di sebelah tenggara Bima merupakan puncak gunung tertinggi di Bima. Sejak saat itu Kalodu menjadi pusat persembunyian dan basis perjuangan La Ka’i yang mulai beranjak remaja untuk merebut kembali tahta kerajaan.

Pada tahun 1621 M, Jena Teke La Ka’i bersama pengikut berangkat ke Sape untuk menemui para mubalig dari Sulawesi Selatan yang datang untuk menyiarkan agama Islam serta ingin menyampaikan pesan Raja Gowa dan Tallo kepada Raja dan keluarga Istana Bima. Maka pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1030 H ( 7 Februari 1621 ) Jena Teke La Ka’i bersama pengikutnya memeluk agama Islam dengan mengucapkan Dua Kalimat Syahadat di hadapan para gurunya. Sejak itu nama La Ka’I diganti dengan Abdul Kahir. Bumi Jara Mbojo bernama Awaluddin, La Mbilla bernama Jalaluddin, Manuru Bata Putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese bernama Sirajuddin.

Sejak saat itu Abdul Kahir memerintahkan seluruh pejabat kerajaan dan seluruh rakyat Bima untuk memeluk Islam yang diawali dengan sumpah di atas sebuah batu yang berlokasi di Parapi (Bendungan Parapi Sape ). Sumpah itu juga dikenal dengan Sumpah “ Darah Daging “ karena mereka mengiris jari masing-masing kemudian darahnya diminum secara bersama-sama sebagai wujud kesetiaan terhadap Islam.

Beberapa bulan setelah memeluk agama Islam, Jena Teke Abdul Kahir bersama pengikut didampingi oleh beberapa orang gurunya dari Sulawesi Selatan kembali menuju Dusun Kalodu. Setelah berada di Kalodu mereka mendirikan sebuah Masjid, selain sebagai tempat ibadah juga menjadi pusat kegiatan dakwah. Mulai saat itu Dusun Kalodu menjadi pusat penyiaran Islam, selain Kampo Sigi (Kampung Sigi ) di sekitar Desa NaE kecamatan Sape.

Dari puncak Kalodu, Islam semakin bersinar terang menyelimuti kegelapan Bumi Bima. Seluruh rakyat menyambut gembira instruksi Putera Mahkota Abdul Kahir untuk memeluk Islam. Salisi  semakin berang. Dengan bantuan Belanda ia terus mengejar dan menyerang Pasukan Abdul Kahir. Proses pengejaran itu mulai dari Kalodu, Sape hingga mencapai puncaknya di Wera. Di sinilah terjadi pertempuran habis-habisan hingga menewaskan Panglima Perang Rato Waro Bewi di Doro Cumpu  desa Bala kecamatan Wera. Berkat kerja sama dan kelihaian orang-orang Wera, Abdul Kahir dan teman seperjuangannya dapat diselamatkan ke Pulau Sangiang  yang selanjutnya dijemput perahu-perahu dari Makassar.

Di Makassar, Empat serangkai Abdul Kahir, Sirajuddin, Awaluddin dan Jalaluddin dibina dan dilatih taktik perang. Di tanah ini pula mereka memperdalam ajaran Islam. Hingga setelah segala persiapan dimatangkan, Sultan Alauddin Makassar mengirim ekspedisi penyerangan terhadap Salisi. Dalam sejarah Bima tercatat dua kali ekspedisi ini dikirim untuk menaklukkan Salisi namun gagal. Pasukan Makassar banyak yang tewas dalam dua ekspedisi ini. Untuk ketiga kalinya pada tahun 1640 M, ekspedisi baru berhasil. Pada tanggal 5 Juli 1640 M Putera Mahkota Abdul Kahir  berhasil memasuki Istana Bima dan dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama yang diberi gelar Ruma ta Ma Bata Wadu (Taunku Yang bersumpah Di Atas Batu). Sedangkan Sirajuddin terus mengejar Salisi hingga ke  Dompu. Sirajuddin selanjutnya mendirikan Kesultanan Dompu. Jalaluddin kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri (Ruma Bicara)   pertama dan diberi gelar Manuru Suntu, dimakamkan di kampung Suntu (Halaman SDN 3 Bima sekarang).

Tanggal 5 Juli 1640 M menjadi saksi sejarah berdirinya sebuah kesultanan di Nusantara Timur dan Terus berkiprah dalam percaturan sejarah Nusantara selama 322 tahun. Untuk itulah pada setiap tanggal 5 Juli diperingati sebagai hari Jadi Bima. Seperti telah menjadi takdir sejarah pula, bahwa kesultanan Bima diawali oleh pemimpinnya yang bernama Abdul Kahir I dan berakhir pula dengan Abdul Kahir II (Putera Kahir). Dua tokoh sejarah itu  kini tidur dengan tenang untuk selama-lamanya di atas bukit Dana Taraha Kota Bima.   (Sumber : Kitab BO ; Peranan Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M. Hilir Ismail ; Novel Sejarah Kembalinya Sang Putera Mahkota, Alan Malingi )

Diterbitkan oleh Alan Malingi

Penulis dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya Lahir di Bima, 20 April 1973. Kontak Person 08123734986-0811390858.Email :alanmalingi2@yahoo.com, alanmalingimalingi@gmail.com, facebook,WA,Twitter, Istagram Alan Malingi

4 tanggapan untuk “Kemelut Politik Di Kerajaan Bima Abad XVII

  1. Dari sejarah di atas sepertinya orang Wera memiliki peran penting bagi keselamatan Ruma Ka’i, sayangya tidak terungkap dengan jelas siapakah Tokoh2 Wera yang paling berperan dalam menyelamatkan Ruma Ka’i ? Menurut cerita2 orang2 tua di Wera, ada beberapa Tokoh/pejuang asal Wera yang paling berjasa disamping orang2 Wera pada masa itu yang berjuang menyelamatkan Ruma Ka’i..di antara ada yang namanya Ompu Cili (orang wera yang berjuang menyelamatkan/menyembunyikan (Ma Cili) Ruma Ka’i). Di samping itu ada Ompu Roti alias Ompu Ranto, beliau ini menurut cerita adalah seorang Tokoh Wera yang sakti, karismatik, pemberani, berjuang digaris depan menyelamatkan Ruma Ka’i dan kerajaan Bima pada umumnya, konon katanya melalui tangan dingin Ompu Roti ini Kerajaan Bima sempat melebarkan sayap hingga ke pulau Roti (NTT), sehingga konon katanya pulau Roti di NTT itu erat kaitannya dengan Nama Besar Ompu Roti. Disetiap pulau2 atau kampung yang menjadi cikal bakal sejarahnya atau di daerah yang diianjaknya beliau meninggalkan jejak dengan keturunannya..Karena itu Keturunan Sultan Bima sangat berutang Budi pada orang Wera, orang Wera memiliki makna sebagai salah satu cikal bakal bagi berdirinya kesultanan Islam Bima, tidak Heran Bupati Ferry Zulkarnaen sekarang sangat memperhatikan Dana Wera, yang oleh pemimpin2 sebelumnya hampir terlupakan.

    1. Iya beda. Lalu Manuru Bata itu sapa ya?.Di dalam BO Bima dan buku sejarah Bima Manuru Bata itu putera raja Matonggo Dese.sepupu La ka i dia yang mebgejar salisi sampai ke mata sebelah barat nanga tumpu.skrg masuk wilayah sunbawa dan menyiarkan agama islan di Dompu dalam catatan lain dia yang mendirikan kesultanan Dompu. Jika dompu lebih dulu mebjadi kesultanan, kenapa putera Raja Dompu manuru Bata diislamkan di sape bersama la ka i.? Jika jika kerajaan Dompu sudah islam.kebapa dalam dharg register belanda tahub 1633 dan dalam laporan pelabuhan batavia.Raja Dompu membantu Raja Bima Salisi kala itu memerangi makassar dan Abdul Kahir? Kalo sudah mebjadi kesultanan.secara otomatis dompu mesti membantu makassar dan Abdul kahir.saya juga belum tahu persis apakah manuru bata itu sirajuddin putera dari syamsuddin sultan dompu yang pertama. Sudah menjadi sunatullah dalam sejarah jika raja berganti keyakinan maka seluruh rakyatnya akan ikut keyakinan baru itu.tp kenapa manuru bata tidak diislamkan oleh ayahnya? Malah masuk islam di Bima. Demikian sekedar share informasi ubuk didiskusikan lebih lanjut.

Tinggalkan komentar